Buldozer raksasa berkapasitas 106 ton ini memiliki panjang 12,4 meter, lebar 6 meter, dan tinggi 4,775 meter. Sementara blade buldoser setinggi 2,6 meter, dengan lebar 6 meter, berkapasitas 26,3 meter kubik. Mampu melakukan penetrasi maksimal mencapai 8 meter.
Direktur Utama Uraltrac Valeriy M Platonov menegaskan, pembelian yang dilakukan melalui PT Minang Jordanindo Indonesia tersebut bukan sekadar transaksi jual beli. "Kami akan membawa teknologi Uraltrac ini ke Indonesia. Ini bagian awal dari alih teknologi yang akan kami lakukan di sana karena Indonesia adalah pasar yang besar," kata Platonov.
Keempat produk tersebut nantinya akan menjadi bahan promosi untuk memperkenalkan merek Uraltrac di pasar Indonesia. "Nah, kita akan perkenalkan dulu produk ini di Indonesia, biar orang tahu dulu. Kalau 5.000 jam tak ada masalah, orang nanti akan menilai sendiri kualitasnya," kata Direktur Utama PT Minang Jordanindo Bonny Z Minang.
Selanjutnya, sesuai dengan kesepakatan antara kedua pihak tersebut, kerja sama alih teknologi akan diawali dengan pembuatan 20 persen komponen di Indonesia. Hingga pada akhirnya 60 persen proses manufaktur dapat dilakukan di pabrik yang rencananya akan dibangun di lahan seluas 30 hektar di pesisir Sungai Mahakam, Kalimantan Timur. "Selain akan menyerap tenaga kerja dan mandatangkan pendapatan bagi dalam negeri, konsep ini pun akan mendukung ketersediaan dukungan komponen dan pelayanan untuk para pembeli buldoser Uraltrac," ujar Bonny.
Presiden Direktur PT Kutai Timur Investama Anung Nugroho menjelaskan, pilihannya jatuh pada Uraltrac selain karena nama besar sebagai produsen tank di Perang Dunia II yang terkenal dengan kekuatan dan kecepatan, juga karena jadwal pengantaran barang yang lebih cepat. "Untuk merek-merek lain saat ini jadwal tunggunya hingga satu tahun, malah untuk yang sekelas T800 bisa sampai tiga tahun. Padahal, kebutuhan alat berat sangat mendesak," kata Anung.
T800 yang dijual di Indonesia pada kisaran harga Rp 9 miliar tersebut sesungguhnya sudah tidak diproduksi lagi oleh Uraltrac sejak beberapa waktu lalu. Hal ini karena kabutuhan alat berat raksasa tidak begitu sejalan dengan penambangan yang berbentuk gua dan banyak terdapat di Eropa. "Tapi untuk Indonesia, penambangan batu bara ada di permukaan tanah, produk ini sangat cocok sehingga kami melakukan pendekatan dan meminta Uraltrac kembali memproduksi alat tersebut," tegas Bonny.